Sabtu, 06 Desember 2014

MAKALAH BIOLOGI, Dalam makalah ini akan dibahas mengenai gejala, penyebab, dan penelitian kekurangan sel darah merah (anemia) menggunakan radioisotop. Sehingga pembaca dapat menetahui cara kerja radioisotop dalam mendektesi penyakit anemia.

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.  Latar belakang
Dewasa ini banyak dijumpai penyakit yang mengancam kesehatan manusia. Keadaan tersebut dikarenakan pola hidup yang tidak sehat, yaitu kurangnya berolahraga, kurangnya istrahat, dan pola makan tidak dijaga atau kurangnya mengkonsumsi sayur-sayuran. Sehingga sistem kekebalan tubuh berkurang dan berdampak buruk bagi kesehatan akibatnya penyakit mudah menyerang tubuh.
Penyakit yang dapat menyerang manusia adalah Anemia. Anemia adalah penyakit yang disebabkan jumlah sel darah merah sedikit atau sel darah merah tidak cukup nmengandung Hb (Hemoglobin) (Arif Priadi, 2009). Akibatnya seseorang yang mengidap  anemia akan mengalami lemas, letih, lesu, dan loyo.
Namun, tidak banyak orang yang mengetahui gejala penyakit anemia. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai gejala, penyebab, dan penelitian kekurangan sel darah merah (anemia) menggunakan radioisotop. Sehingga pembaca dapat menetahui cara kerja radioisotop dalam mendektesi penyakit anemia.
1.2. Rumusan masalah
1.      Apa saja penyebab penyakit anemia?
2.      Bagaimanakah gejala penyakit anemia?
3.      Bagaimana pengaruh radioisotop dalam penyembuhann penyakit anemia dalam ilmu Fisika Terapan?
1.2.  Tujuan
1.      Mengetahui yang dimaksud radioisotop dan anemia.
2.      Mengetahui manfaat radioisotop.
.
BAB II ISI
1.1    Kajian Pustaka
2.1.1. Radioisotop
Radioisotop ialah isotop suatu unsur radioaktif yaitu yang memancarkan radiasi. Jenis serta energi radiasi yang dipancarkan umumnya merupakan sifat khas isotop pemancar. Setiap zat radioaktif meluruh dengan umur paroh tertentu yang juga khas untuk isotop radioaktif. Jadi pengukuran umur paro serta energi radiasi yang dipancarkan dapat digunakan sebagai alat pengenal suatu radioisotop. Selain itu radioisotop suatu unsur dapat di anggap mempunyai sifat kimia yang sama dengan isotop yang tidak aktif. Sifat ini beserta kepekaan inti radioaktif terhadap deteksi merupakan faktor yang menyebabkan radioisotop banyak digunakan sebagai perunut, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Radioisotop digunakan untuk mengikuti dan meneliti sifat suatu unsur, senyawa atau kelompok senyawa dalam suatu proses. Sedang sebagai sumber radiasi yang dipentingkan ialah jenis radiasi dan energi yang dipancarkan karena radiasi tersebut dapat digunakan sebagai pengganti radiasi megion yang berasal dari sumber konvensional, seperti sinar X.
Penemuan sinar X oleh Rontgen pada tahun 1895 merangsang Henri Becquerel untuk menyelidiki asal usul sinar-X. Dalam percobaan yang dilakukan sebenarnya Becquerel sedang mempelajari gejala fluoresens dan fosforesens yang disebabkan oleh sinar X. Gejala Fluoresens adalah gejala dimana suatu benda dapat memancarkan cahaya yang berbeda ketika menerima cahaya dari luar atau menerima tembakan dari aliran partikel. Misalnya, dinding kaca dalam sinar katoda yang memancarkan cahaya hijau ketika dinding kaca itu menerima sinar katoda. Gejala fosforenses adalah gejala dimana suatu benda dapat memancarkan cahaya beberapa selang waktu kemudian setelah benda itu menerima cahaya dari luar, misalnya pada jarum penunjuk alroji yang bersinar pada malam hari setelah menerima cahaya dari matahari pada siang hari.
Dalam penelitian itu Becquerel menemukan bahwa senyawa uranium menunjukkan keaktifan radiasi tertentu dengan daya tembus yang sangat kuat seperti sinar-X, meskipun senyawa uranium itu tidak disinari terlebih dahulu. Mula-mula Becquerel menduga bahan ini menyimpan energi dari matahari yang diperoleh sebelumnya. Kemudia Becquerel menguji dugaannya dengan menempatkan bijih uranium dalam kotak timah yang tertutup rapat dan menyimpannya beberapa bulan. Ternyata dalam percobaanya tersebut uranium tetap memancarkan sinar walaupun tidak mendapat tenaga dari sinar matahari seperti halnya sinar-X. Pemancaran sinar tembus ( sinar radioaktif ) secara spontan oleh inti-inti tidak stabil ( misalnya inti uranium ) dinamakan radioaktivitas. Jadi radioaktifitas ditemukan oleh Henri Becquerel.

2.1.2.      Darah
Darah adalah cairan jaringan yang dialirkan melalui pembuluh. Jika kadar oksigen dalam darah tinggi, maka warnanya akan menjadi merah muda. Sebaliknya, jika oksigen rendah dalam darah, maka darah berwarna merah tua.
Darah terdiri atas sel-sel darah (sel darah putih dan sel darah merah), trombosit (keping darah), dan plasma darah. Lebih kurang 55% dari seluruh volume darah terdiri atas plasma darah. Sisanya, yaitu 45% terdiri atas sel-sel dan keping darah. 



2.1.3.   Sel Darah Merah
Sel darah merah atau eritrosit adalah bagian utama dari sel-sel darah. Ciri-ciri sel darah merah antara lain bentuknya melingkar, pipih, dan cakram bikonkaf; sel yang telah matang tidak mempunyai nukleus; berdiameter kurang dari 0,01 mm; dan elastisitas.
Setiap mm3 darah manusdia mengandung kira-kira 4-6 juta sel darah merah. Masing-masing sel darah merah mengandung 200 juta molekul hemoglobin. Dengan adanya Hb, sel darah merah dapat berfungsi untuk mengangkut O2 dan berwarna merah.
Hemoglobin adalah suatu protein yang mengandung senyawa besi hemin. Hemoglobin mempunyai daya ikat terhadap O2 dan CO2.
Sel-sel darah merah berasal dari sel induk (stem cell) dan diproduksi dalam sumsum tulang merah. Sel darah merah yang telah matang akan kehilangan nukleus dan memperoleh Hb. Umur sel darah merah kurang lebih 120 hari. Setelah sel-sel tersebut mati, kemudian dihancurkan di dalam organ hati dan ditelan oleh makrofag. Padasaat dihancurkan sel darah merah membebaskan Hb.
       2.1.4.   Pengertian Anemia
Anemia (dalam bahasa Yunani: Tanpa darah) adalah keadaan saat jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada di bawah normal. Sel darah merah mengandung hemoglobin yang memungkinkan mereka mengangkut oksigen dari paru-paru, dan mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh.





2.2.  Pembahasan
2.2.1. Penyebab penyakit anemia
Disemua negara baik negara maju maupun berkembang penyakit anemia dapat menyerang siapa saja baik  usia dewasa maupun usia anak-anak. Orang awam lebih mengenal bahwa anemia adalah penyakit kekurangan darah. Sebenarnya, animea bukanlah penyakit kekurangan darah, lebih tepatnya anemia adalah penyakit yang diakibatkan oleh jumlah sel darah merah dalam darah tidak normal atau rendah. Sel darah merah mengandung hemoglobin, yang memungkinkan mereka mengangkut oksigen dari paru-paru dan mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh. Anemia menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin dalam sel darah merah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah sesuai yang diperlukan tubuh.
Penyebab umum dari anemia disebabkan oleh perdarahan hebat antara lain sebagai berikut. Kecelakaan, pembedahan, persalinan, pecah pembuluh darah, perdarahan hidung (mimisan), dan pendarahan. Berkurangnya pembentukan sel darah merah bisa juga disebabkan karena kekurangan zat besi. Bila zat besi dalam tubuh tidak sesuai kebutuhan, maka akan terjadi anemia. Kurangnya zat besi dalam tubuh bisa terjadi karena berbagai sebab. Pada bayi, kemungkinan disebabkan oleh prematuritas, atau bayi yang terlahir dari seorang ibu yang menderita kekurangan zat besi. Pada anak-anak, bisa disebabkan oleh asupan makanan yang kurang mengandung zat besi. Sedangakan pada orang dewasa kekurangan zat besi disebabkan oleh perdarahan menahun atau berulang-ulang, yang berasal dari semua bagian tubuh. Sering lupa makan, kurang tidur, dan terlalu capek, juga merupakan sebagai penyebab anemia. Kondisi ini bisa bertambah parah bila asupan makanan tidak memenuhi gizi yang cukup.
2.2.2.       Gejala Penyakit Anemia
Setiap penyakit mempunyai masing-masing gejala, begitupun penyakit anemia. Gejala penyakit anemia diantaranya Sering mengalami pusing-pusing dan mata sering berkunang-kunang, hal ini menjadi gejala anemia yang sangat membuat lelah. Selain itu penderita mengalami lesu dan tidak bertenaga. Dalam gejala penyakit anemia bagian kelopak mata yang berwarna pucat, bibir yang pucat, lidah, kulit serta tangan yang pucat.
2.2.3.       Radioisotop dalam Mendeteksi Anemia
Radioisotop masih erat hubungannya dengan ilmu fisika. Sebenarnya manusia banyak memanfaatkan energi dari proses radioisotop dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu penerapannya radioisotop digunakan dalam berbagai bidang termasuk bidang kesehatan.
Penyakit anemia diantaranya disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh sehingga mengakibatkan kelemahan. Tetapi, mungkin juga diakibatkan kegagalan penggunaan zat besi yang ada oleh tubuh.
Berdasarkan akibat tersebut maka sangat penting untuk mengetahui cara tumbuh meresap, menyimpan, dan menggunakan persediaan zat besi yang tersimpan. Dari sumber yang penulis baca dengan menggunakan Fe-59 yang  radioaktif, ditemukan bahwa penggunaan zat besi dalam tubuh digunakan seperlunya saja dan bukannya meresap menurut kesanggupannya, dan mengluarkan yang tidak digunakan.
Whipple dalam tahun 1939 menemukan bahwa binatang penderita anemia menahan kurang lebih 12% zat besi yang diberikan melalui diet, sedangkan binatang normal hanya menahan kurang lebih 0,08 sampai 0,24%. Pada hewan penderita anemia hampir seluruh besi yang diserap diubah menjadi sel darah merah, sedang pada hewan normal yang digunakan hanya sedikit besi yang diresap. Peneluaran besi pada hewan tersebut sama saja dan ditak ada perbedaan.
Pada tahun 1942 Cruz, Hahn dan Bale melakukan percobaan untuk mengetahui pengaruh zat lain yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel darah. Anjing yang digunakan sebagai hewan percobaan dilukai berkali-kali sampai terjadi anemia. Hewan tersebut lalu diberikan diet besi Fe-59 dalam dosis sekitar 30 mg tiap hari selama 20 hari.  Dan selanjutnya diambil sampel darah untuk mencacah jumlah hemoglobin dan mengukur aktifitasnya. Penambahan besi yang dilakukan ternyata menyembuhkan penyakit anemia.
Setelah kurang dari 50 hari penambahan besi dihentikan. Untuk 5 sampai 10 hari aktifitas dan cacahan hemoglobin terus bertambah, yang menunjukkan bahwa mekanisme pembentukan darah tidak berlansung serentak dengan penambahan besi. Setelah jumlah besi dalam kadar maksimum maka ditambahkan pirodin, semacam zat yang dapat menimbulkan anemia, secara suntikan selama 4 hari. Akibatnya terjadi penuruna jumlah hemoglobin dan jugta aktivitas secara mendadak. Pengurangan aktivitas ini menunjukkan bahwa hasil perusakan darah tidak tinggal tetap dalam peredaran.
Setelah penambahan pirodin dihentikan maka darah mulai sembuh dan jumlah hemoglobin mulai bertambah kembali. Hal ini menunjukkan bahwa besi yang tadinya keluar dari peredaran, tidak hilang sama sekali, tetapi aktivitas darah mulai bertambah kembali. Hal ini menunjukkan bahwa besi yang sama digunakan kembali dalam pembentukan hemoglobin. Besi yang berasal dari sel yang telah lapuk ternyata masih dapat digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin.
















BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
            Radioisotop adalah ialah isotop suatu unsur radioaktif yaitu yang memancarkan radiasi. Jenis serta energi radiasi yang dipancarkan umumnya merupakan sifat khas isotop pemancar.
            Anemia (dalam bahasa Yunani: Tanpa darah) adalah keadaan saat jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada di bawah normal.
            Dalam kesehatan radioisotop digunakan untuk mendeteksi penyakit yang ada dalam organ tubuh. Selain itu radiasi dari radio isotop tertentu digunakan untuh membunuh sel-sel penyakit yang ada dalam tubuh manusia.      
3.2. Saran
1.


















DAFTAR PUSTAKA
Kanginan, Marthen. 2006. Fisika 3 untuk SMA Kelas XII. Jakarta : Penerbit Erlangga
Priadi, Arif. 2009. Biology Senior High School Year XI. Bogor : Penerbit Yudhistira.
Amirudin, Achmad.2008. Kimia Inti, Radiokimia dan penggunaan Radioisotop. Tanggerang : Pusat Pengembangan Informatika Nuklir.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar